Skip to main content

My Sister is My priority : chapter 05

untuk daftar karakter, ada dibawah ini :


    Sesuatu yang benar benar tak ku duga, dan juga benar benar jawaban yang tidak ku harapkan. Entah kenapa aku benar benar tidak ingin adik ku berpacaran dengan seseorang, bukan karena khawatir atau sesuatu, tapi rasa nya hati ku sangat tak mengijinkan orang lain untuk memiliki nya.

    “Aku... menerima nya...”

Kata kata nya itu terus berdengung di kepala ku, seolah olah aku benar benar tak terima akan hal itu. Tapi mau bagaimana lagi, Nadin lah yang memutuskan itu, dan aku seharusnya mendukungnya.

    “B..benar kah...”

Nadin menoleh ke arahku dengan wajah sendu.

    “Baguslah kalau begitu, abang akan mendukungmu...”
    “Soalnya... itu keputusanmu...” terusku kurang yakin.
    “He...”

Wajahnya memperlihat kan ekspresi kecewa. Melihat ekspresi nya, aku pun memaling wajah ku dari nya. Nadin lalu perlahan menghampiri ku, yang membuatku mencoba berpaling ke arahnya lagi.

    *PLAAAK*

Nadin menampar wajahku dengan cukup keras, sempatku lihat wajahnya dengan ekspresi yang tak bisa ku tebak, namun yang pasti, itu bukanlah ekspresi yang menyenangkan. Dia pun meninggalkan ku tanpa sepatah kata pun.

    “Na...Nadin...”

Panggilku dengan terbata bata, namun Nadin tetap tak menoleh sedikit pun. Pertama kali nya Nadin marah pada ku, dan karena ini yang pertama kali nya, rasa nya benar benar menyakitkan. Padahal begitu dekat, namun ternyata aku masih belum mengerti tentang adik ku.
    Keesokan hari nya, Nadin berangkat ke sekolah tanpa membangunkan ku. Mungkin dia pergi berangkat bersama pacarnya, itulah yang ku pikirkan. Dan entah kenapa rasa nya... nyesek. Aku pun bersiap siap untuk berangkat. Saat aku membuka pintu depan, aku melihat Sari sedang berdiri di depan pagar rumahku sambil menunduk.

    “Sari?”
    “Ah, pagi kak Rei...”
    “Kamu gak berangkat ama Nadin?” kata ku pada Sari lalu menghampiri nya.
    “Ah, soal itu...”
    “Yaa, benar juga ya, Nadin kan berangkat duluan ama pacarnya...”
    “Eh?” Sari agak kaget.
    “Kenapa sari?”
    “Bukan apa apa kak, yok kita berangkat...”

Aku mengangguk pada nya sambil tersenyum, dan kami pun berangkat berdua. Saat di perjalanan aku mencoba melirik ke arah Sari, Sari terlihat melirik ke arah ku beberapa kali dan saat dia menyadari kalau aku melihat ke arah nya wajahnya seketika memerah lalu ia paling pandangannya ke arah depan.

    “Ya... wajar saja sih, kalau dia gugup, soalnya kami Cuma berdua saja sekarang...

Begitulah pikirku saat melihatnya salah tingkah begitu, soalnya aku juga sedikit gugup sih, karena biasa nya Nadin bersama kami saat berangkat sekolah begini.

    “Kak Rei...” kata Sari tiba tiba.
    “Eh... iya Sari?”
    “Sebenarnya...”
    “Ada yang ingin ku omongin ke kakak hari ini...” terus Sari pelan.
    “Eh... benarkah? Soal apa?”
    “...ini soal Nadin kak...”
    “Nadin?”
    *bip bip*

Tiba tiba handphone Sari berbunyi, yang sontak membuat Sari sedikit kaget. Dia pun mengambil handphone nya yang ia letakkan di saku kanannya.

    “Telpon kah?”
    “Bukan kak, Cuma SMS.” jelas Sari
    “Eh...”

Sari sempat terdiam saat melihat SMS tersebut, seperti kaget akan sesuatu.

    “Sari? Oi!”
    “Eh kak Rei...”
    “Ada apa?”
    “Emm, bukan apa apa kak...” jelas Sari sambil menggelengkan kepala.
    “Begitu ya... jadi soal yang tadi...”
    “Soal itu... mungkin lebih baik kalau kakak mendengarnya sendiri dari Nadin....”
    “Eh?”
    “Aku duluan ya kak!”
    “Eh... tungg...”

Sari lalu mendahului ku dengan tersenyum, seperti buru buru akan sesuatu. Dan sekarang aku sendirian...lagi.
    Sesampai ku di gerbang sekolah, aku tak menemui Lisa atau pun Andre yang biasa nya menunggu ku di depan gerbang. Aku jadi berpikir apakah ini hari hukuman untukku. Semua yang biasa bersama ku, malah tidak kelihatan hari ini, mungkin hanya Sari saja yang sempat ku temui hari ini walau hanya sebentar. Aku menuju ke kelas dengan lesu, dan sesampai ku di kelas aku hanya mendapati Andre yang terlihat tepar di bangku nya.

    “Ngapain lu...”
    “Lu gak liat ya...gue tepar...”
    “Bukan itu yang ku maksudkan.”
    “Haaaaa, dengarlah ini Rei... adikku...” kata Andre dengan lesu.
    “Kenapa dengan adikmu?”
    “Adikku...adikku... sudah tidak mau ku elus kepala nya lagi...”
    “Hee...”
    “Heee... Dia hampir mengalami kejadian yang sama denganku..” pikirku dalam hati.
    “Aku turut berduka akan hal itu kawan...”

Aku menepuk punggung Andre karena merasa dia mengalami hal yang sama denganku hari ini.

    “O iya, ngomong ngomong si Lisa kemana? Kok nggak keliatan dari tadi..”
    “Oh... Lisa ya... hari ini dia absen entah kenapa...” jawab Andre lesu mendongak ke arahku.
    “Absen ya... jadi khawatir...”
    “Iya sih, tumben tumbennya dia absen, sakit kali ya...”
    “DVD anime ku kan ada di dia sekarang...”
    “Jadi yang lu khawatirin DVD ya, bukan Lisa nya!!!” balas Andre dengan nada Jengkel.

    Aku pun melewati hari ini dengan cukup biasa, walau pun terkadang masih teringat ingat soal Nadin, namun aku berusaha agar menjalani pelajaran hari ini dengan tenang. Saat istarahat kelas pun aku hanya duduk di bangku ku sambil melihat pemandangan dari jendela kelas. Hari dengan cuaca berubah ubah, dari hujan rintik di siang hari, sampai berawan di sore hari menjadi pemandangan yang ku lihat sepanjang hari dari kelas. Namun walau aku mencoba melupakan masalah itu, ternyata ujung ujungnya pun kembali teringat ingat lagi.
    Tanpa ku sadari, sekolah pun berakhir. Dan masalah utama nya, apakah Nadin akan ada menunggu ku di depan gerbang sekolah. Hari hari yang sudah biasa ku lewati malah tiba tiba jadi rumit begini. Sesampai ku di pintu gedung SMA, aku pun mencoba untuk melihat dari ke arah gerbang sekolah dari kejauhan, dan aku mendapati Nadin dan Sari yang berdiri di depan gerbang sekolah.

    “Aaa...dia menunggu ku...

Aku merasa sedikit terharu karena Nadin masih menunggu seperti biasa di depan gerbang. Aku pun mencoba untuk menghampiri mereka.

    “Tunggu! Apa dia benar benar menunggu ku....
    “Mungkin saja dia menunggu pacar nya...

Aku jadi merasa tidak enak, dan lalu berniat untuk pulang lewat pintu gerbang belakang, namun Sari menyadari keberadaanku dan tiba tiba memanggilku.

    “Ah... Kak Rei!” kata Sari dengan nyaring, yang lalu membuatku menoleh pelan.
    “Abang...” kata Nadin samar samar dari kejauhan.

Aku pun lalu jadi menghampiri mereka sambil menunduk. Namun entah mengapa jantungku jadi berdegub dengan cepat, padahal aku sudah biasa bersama adikku.

    “Anoo...”
    “Emm...”

Nadin mengalihkan perhatiannya dari ku. Sari menjadi merasa tidak enak dengan kami berdua dan memutuskan untuk pulang terlebih dulu.

    “A..aku rasa, aku akan pulang duluan saja,”
    “Dah ya Nadin, kak Rei...”

Sari lalu mendahului kami dengan berlari cukup cepat.

    “Aaa, tunggu...”

Aku lalu mencoba untuk melirik ke arah Nadin, dan ternyata Nadin juga melihat ke arahku dengan sedikit cemberut.

    “Aaa... kalau gitu, yok kita pulang...”
    “Emm..”

Nadin menganggukan kepala nya, dan kami pun pulang bersama sama.
    Selama di perjalanan, perasaan canggung terus terasa meyelimuti ku, rasa nya benar benar gugup sekali walaupun sudah biasa nya kami pulang bersama. Saat sudah sampai di depan rumah, Nadin pun mulai menegurku dengan suara yang lumayan pelan.

    “Bang... aku minta maaf ya,”
    “Buat yang kemaren...”
    “Eh...a..abang jadi sulit meresponnya...”
    “Abang! Aku serius...” kata Nadin dengan nada kesal.
    “Anoo... sebenarnya abang yang harus minta maaf...” kata ku sambil membuka pintu rumah.
    “Eh... pintu nya lupa ku kunci ya?

Aku pun lalu masuk ke dalam rumah, sedangkan Nadin masih berada di depan pintu dengan ekspresi agak bingung.

    “Kenapa abang mesti minta maaf?”
    “Begini... sebenarnya...”
    “Abang tidak mau kamu pacaran dengan seseorang...” lanjutku lalu membelakangi Nadin.
    “Eh...”
    “Tapi...”
    “Kamu bilang, kamu sendiri yang menerima nya...”
    “Jadi, waktu itu abang bilang saja kalau abang akan mendukungmu,”
    “Walau pun sebenarnya abang tidak mau kamu berpacaran dengan seseorang.”

Keadaan pun menjadi hening seketika, Saat ku coba untuk melirik ke belakang, terlihat Nadin yang menundukkan kepala nya yang sampai sampai membuat kedua mata nya tak terlihat.

    “Ternyata... abang memang bodoh ya...” kata Nadin pelan.
    “Eh”

Aku pun mencoba berbalik ke arah Nadin, namun saat aku baru saja berbalik, Nadin secara tiba tiba memelukku dengan lumayan kuat.

    “Abang bodoh..bodoh..bodoh!!”
    “N...Nadin?!”

Nadin terus mengatakan hal yang sama sambil menangis kecil. Aku pun mencoba untuk melepaskan pelukannya, tetapi Nadin semakin mempererat pelukannya tersebut sampai akhirnya tangisannya mulai mereda.

    “Abang...bodoh...”
    “Nadin, Nadin, maafin abang, apa abang mengatakan sesuatu yang salah tadi? Maafin abang ya, maafin abang...”
    “Hiks..Bodoh...aku... bodoh...”
    “Aku...sebenarnya tidak pacaran...”
    “Eh...”
    “M..memang benar kalau kemaren teman sekelasku menembakku, tapi...”
    “Aku... menolaknya...”
    “Eh... kamu menolaknya...”
    “Karena... aku...Cuma cinta sama abang...”
    “Aku... Cuma sayang sama abang...”
    “Nadin...”
    “Aku... hanya ingin tau.. bagaimana perasaan abang...”
    “Jadi saat abang bertanya pada ku... aku bilang saja ke abang, kalau aku menerima nya...”

Nadin terus menjelaskan tentang hal itu sambil memelukku, tanpa menatap ke arah wajahku sedikit pun. Namun aku mengetahui bahwa saat ini dia terus mengeluarkan air mata dan mencoba menutupi nya dengan terus menempelkan wajahnya pada tubuhku dalam pelukannya. Aku pun terus mendengarkan apa yang dia katakan pada ku sambil menatap ke arah wajahnya yang ia tutupi dari ku.

    “Kemaren malam, aku terus merenungi tentang hal ini, bahwa perasaan ini memang tidak seharusnya ada...”
    “Perasaanku pada abang, adalah sesuatu yang tidak akan di terima oleh orang orang....”
    “Jadi wajar... kalau abang tidak memikirkan perasaanku pada abang”
    “Nadin...”
    “Aku bukanlah orang yang normal!!!”
    “NADIN!”

Aku pun membalas pelukan Nadin, yang membuat Nadin terdiam.

    “Sudah cukup,”
    “He...”
    “Mau bagaimana pun diri mu, apapun perasaanmu pada abang...”
    “Kamu tetaplah adik perempuan abang yang abang sayangi...”
    “Yang abang cintai...”

Nadin mendongak ke wajahku dengan wajah penasaran. Dia menatap mata ku dengan mata nya yang berbinar binar tersebut dengan seksama.

    “Jadi abang juga mencintai ku?”
    “Aaa..Tentu saja sebatas saudara...”

Aku memalingkan  wajahku sebentar lalu menatap ke arah wajahnya lagi. Terlihatlah yang Nadin menggembungkan pipi nya sambil mendongak ke arah wajahku.

    “Anoo... Dengar ya Nadin... apapun perasaanmu, abang tetap menyayangi mu, lebih dari siapa pun di dunia ini... karena...”
    “Kamu adalah priotas utama bagi abang... apapun yang terjadi, jadi bagaimana pun perasaanmu pada abang, abang tidak akan memperdulikan hal itu...”



Aku pun mengelus kepala nya dengan lembut yang membuatnya terdiam sementara.

    “Jahatnya, malah gak di peduliin, padahal aku sudah memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku ke abang loh...”
    “Mau gimana lagi kan, kita kan saudara sedarah...”
    “Pokok nya setinggi apapun sindrom BroCon mu itu, abang tetap sangat menyayangi mu...”
    “Abang...”
    “Tapi tetap sebatas saudara loh ya!” jelasku lagi.
    “Cih...”
    “Jangan gitu dong, dan juga... abang tetap tidak mau kamu berpacaran dengan seseorang...” lanjutku pelan lalu berpaling.

Nadin mendongak ke arah wajahku, lalu menempelkan wajahnya lagi ke tubuhku.

    “Emm”
    “Ngomong ngomong Nadin...”
    “Iya bang?”
    “Pelukannya bisa udahan dulu gak? Nanti abang malah ketagihan...”
    “Iiih abang! Bentar lagi ya... soalnya jarang jarang bisa meluk abang kaya gini...”
    “Ya udah deh kalo gitu...”

Nadin masih tetap memelukku, dan aku pasrah pasrah saja akan hal itu, karena benar juga yang di katakan Nadin, jarang jarang juga kami bisa seperti ini.

    *tap tap tap*

Terdengar suara langkah kaki yang baru saja turun dari lantai dua, sontak aku dan Nadin pun menoleh ke arah tangga, di mana suara langkah tersebut terdengar.

    “Wah wah...Ku kira ada apa tadi, ternyata dua orang kakak beradik yang saling menyatakan perasaannya masing masing ya... hahaha...”
    “Eh...”
    “Om Fajar...”


                             -=Chapter 5 ‘Adikku dan aku’=-

Comments

Post a Comment

Populer Post

My Sister is My Priority : chapter 01

My Sister is My Priority : chapter 03

My Sister is My Priority : chapter 14 [Vol.2]