untuk daftar karakter, ada dibawah ini :
Sesuatu yang benar benar tak ku duga, dan
juga benar benar jawaban yang tidak ku harapkan. Entah kenapa aku benar benar
tidak ingin adik ku berpacaran dengan seseorang, bukan karena khawatir atau
sesuatu, tapi rasa nya hati ku sangat tak mengijinkan orang lain untuk memiliki
nya.
“Aku...
menerima nya...”
Kata kata nya itu
terus berdengung di kepala ku, seolah olah aku benar benar tak terima akan hal
itu. Tapi mau bagaimana lagi, Nadin lah yang memutuskan itu, dan aku seharusnya
mendukungnya.
“B..benar kah...”
Nadin menoleh ke
arahku dengan wajah sendu.
“Baguslah kalau begitu, abang akan
mendukungmu...”
“Soalnya... itu keputusanmu...” terusku
kurang yakin.
“He...”
Wajahnya memperlihat
kan ekspresi kecewa. Melihat ekspresi nya, aku pun memaling wajah ku dari nya.
Nadin lalu perlahan menghampiri ku, yang membuatku mencoba berpaling ke arahnya
lagi.
*PLAAAK*
Nadin menampar
wajahku dengan cukup keras, sempatku lihat wajahnya dengan ekspresi yang tak
bisa ku tebak, namun yang pasti, itu bukanlah ekspresi yang menyenangkan. Dia
pun meninggalkan ku tanpa sepatah kata pun.
“Na...Nadin...”
Panggilku dengan
terbata bata, namun Nadin tetap tak menoleh sedikit pun. Pertama kali nya Nadin
marah pada ku, dan karena ini yang pertama kali nya, rasa nya benar benar
menyakitkan. Padahal begitu dekat, namun ternyata aku masih belum mengerti
tentang adik ku.
Keesokan hari nya, Nadin berangkat ke
sekolah tanpa membangunkan ku. Mungkin dia pergi berangkat bersama pacarnya,
itulah yang ku pikirkan. Dan entah kenapa rasa nya... nyesek. Aku pun bersiap
siap untuk berangkat. Saat aku membuka pintu depan, aku melihat Sari sedang
berdiri di depan pagar rumahku sambil menunduk.
“Sari?”
“Ah, pagi kak Rei...”
“Kamu gak berangkat ama Nadin?” kata ku
pada Sari lalu menghampiri nya.
“Ah, soal itu...”
“Yaa, benar juga ya, Nadin kan berangkat
duluan ama pacarnya...”
“Eh?” Sari agak kaget.
“Kenapa sari?”
“Bukan apa apa kak, yok kita berangkat...”
Aku mengangguk
pada nya sambil tersenyum, dan kami pun berangkat berdua. Saat di perjalanan aku
mencoba melirik ke arah Sari, Sari terlihat melirik ke arah ku beberapa kali
dan saat dia menyadari kalau aku melihat ke arah nya wajahnya seketika memerah
lalu ia paling pandangannya ke arah depan.
“Ya...
wajar saja sih, kalau dia gugup, soalnya kami Cuma berdua saja sekarang...”
Begitulah pikirku
saat melihatnya salah tingkah begitu, soalnya aku juga sedikit gugup sih,
karena biasa nya Nadin bersama kami saat berangkat sekolah begini.
“Kak Rei...” kata Sari tiba tiba.
“Eh... iya Sari?”
“Sebenarnya...”
“Ada yang ingin ku omongin ke kakak hari
ini...” terus Sari pelan.
“Eh... benarkah? Soal apa?”
“...ini soal Nadin kak...”
“Nadin?”
*bip bip*
Tiba tiba
handphone Sari berbunyi, yang sontak membuat Sari sedikit kaget. Dia pun
mengambil handphone nya yang ia letakkan di saku kanannya.
“Telpon kah?”
“Bukan kak, Cuma SMS.” jelas Sari
“Eh...”
Sari sempat
terdiam saat melihat SMS tersebut, seperti kaget akan sesuatu.
“Sari? Oi!”
“Eh kak Rei...”
“Ada apa?”
“Emm, bukan apa apa kak...” jelas Sari
sambil menggelengkan kepala.
“Begitu ya... jadi soal yang tadi...”
“Soal itu... mungkin lebih baik kalau kakak
mendengarnya sendiri dari Nadin....”
“Eh?”
“Aku duluan ya kak!”
“Eh... tungg...”
Sari lalu
mendahului ku dengan tersenyum, seperti buru buru akan sesuatu. Dan sekarang
aku sendirian...lagi.
Sesampai ku di gerbang sekolah, aku tak
menemui Lisa atau pun Andre yang biasa nya menunggu ku di depan gerbang. Aku
jadi berpikir apakah ini hari hukuman untukku. Semua yang biasa bersama ku,
malah tidak kelihatan hari ini, mungkin hanya Sari saja yang sempat ku temui
hari ini walau hanya sebentar. Aku menuju ke kelas dengan lesu, dan sesampai ku
di kelas aku hanya mendapati Andre yang terlihat tepar di bangku nya.
“Ngapain lu...”
“Lu gak liat ya...gue tepar...”
“Bukan itu yang ku maksudkan.”
“Haaaaa, dengarlah ini Rei... adikku...” kata
Andre dengan lesu.
“Kenapa dengan adikmu?”
“Adikku...adikku... sudah tidak mau ku elus
kepala nya lagi...”
“Hee...”
“Heee...
Dia hampir mengalami kejadian yang sama denganku..” pikirku dalam hati.
“Aku turut berduka akan hal itu kawan...”
Aku menepuk
punggung Andre karena merasa dia mengalami hal yang sama denganku hari ini.
“O iya, ngomong ngomong si Lisa kemana? Kok
nggak keliatan dari tadi..”
“Oh... Lisa ya... hari ini dia absen entah
kenapa...” jawab Andre lesu mendongak ke arahku.
“Absen ya... jadi khawatir...”
“Iya sih, tumben tumbennya dia absen, sakit
kali ya...”
“DVD anime ku kan ada di dia sekarang...”
“Jadi yang lu khawatirin DVD ya, bukan Lisa
nya!!!” balas Andre dengan nada Jengkel.
Aku pun melewati hari ini dengan cukup
biasa, walau pun terkadang masih teringat ingat soal Nadin, namun aku berusaha
agar menjalani pelajaran hari ini dengan tenang. Saat istarahat kelas pun aku
hanya duduk di bangku ku sambil melihat pemandangan dari jendela kelas. Hari
dengan cuaca berubah ubah, dari hujan rintik di siang hari, sampai berawan di
sore hari menjadi pemandangan yang ku lihat sepanjang hari dari kelas. Namun
walau aku mencoba melupakan masalah itu, ternyata ujung ujungnya pun kembali
teringat ingat lagi.
Tanpa ku sadari, sekolah pun berakhir. Dan
masalah utama nya, apakah Nadin akan ada menunggu ku di depan gerbang sekolah. Hari
hari yang sudah biasa ku lewati malah tiba tiba jadi rumit begini. Sesampai ku
di pintu gedung SMA, aku pun mencoba untuk melihat dari ke arah gerbang sekolah
dari kejauhan, dan aku mendapati Nadin dan Sari yang berdiri di depan gerbang
sekolah.
“Aaa...dia
menunggu ku...”
Aku merasa sedikit
terharu karena Nadin masih menunggu seperti biasa di depan gerbang. Aku pun
mencoba untuk menghampiri mereka.
“Tunggu!
Apa dia benar benar menunggu ku....”
“Mungkin
saja dia menunggu pacar nya...”
Aku jadi merasa
tidak enak, dan lalu berniat untuk pulang lewat pintu gerbang belakang, namun
Sari menyadari keberadaanku dan tiba tiba memanggilku.
“Ah... Kak Rei!” kata Sari dengan nyaring,
yang lalu membuatku menoleh pelan.
“Abang...” kata Nadin samar samar dari
kejauhan.
Aku pun lalu jadi
menghampiri mereka sambil menunduk. Namun entah mengapa jantungku jadi berdegub
dengan cepat, padahal aku sudah biasa bersama adikku.
“Anoo...”
“Emm...”
Nadin mengalihkan
perhatiannya dari ku. Sari menjadi merasa tidak enak dengan kami berdua dan
memutuskan untuk pulang terlebih dulu.
“A..aku rasa, aku akan pulang duluan saja,”
“Dah ya Nadin, kak Rei...”
Sari lalu
mendahului kami dengan berlari cukup cepat.
“Aaa, tunggu...”
Aku lalu mencoba
untuk melirik ke arah Nadin, dan ternyata Nadin juga melihat ke arahku dengan
sedikit cemberut.
“Aaa... kalau gitu, yok kita pulang...”
“Emm..”
Nadin menganggukan
kepala nya, dan kami pun pulang bersama sama.
Selama di perjalanan, perasaan canggung
terus terasa meyelimuti ku, rasa nya benar benar gugup sekali walaupun sudah
biasa nya kami pulang bersama. Saat sudah sampai di depan rumah, Nadin pun
mulai menegurku dengan suara yang lumayan pelan.
“Bang... aku minta maaf ya,”
“Buat yang kemaren...”
“Eh...a..abang jadi sulit meresponnya...”
“Abang! Aku serius...” kata Nadin dengan
nada kesal.
“Anoo... sebenarnya abang yang harus minta
maaf...” kata ku sambil membuka pintu rumah.
“Eh...
pintu nya lupa ku kunci ya?”
Aku pun lalu masuk
ke dalam rumah, sedangkan Nadin masih berada di depan pintu dengan ekspresi
agak bingung.
“Kenapa abang mesti minta maaf?”
“Begini... sebenarnya...”
“Abang tidak mau kamu pacaran dengan
seseorang...” lanjutku lalu membelakangi Nadin.
“Eh...”
“Tapi...”
“Kamu bilang, kamu sendiri yang menerima
nya...”
“Jadi, waktu itu abang bilang saja kalau
abang akan mendukungmu,”
“Walau pun sebenarnya abang tidak mau kamu
berpacaran dengan seseorang.”
Keadaan pun
menjadi hening seketika, Saat ku coba untuk melirik ke belakang, terlihat Nadin
yang menundukkan kepala nya yang sampai sampai membuat kedua mata nya tak
terlihat.
“Ternyata... abang memang bodoh ya...” kata
Nadin pelan.
“Eh”
Aku pun mencoba
berbalik ke arah Nadin, namun saat aku baru saja berbalik, Nadin secara tiba
tiba memelukku dengan lumayan kuat.
“Abang bodoh..bodoh..bodoh!!”
“N...Nadin?!”
Nadin terus
mengatakan hal yang sama sambil menangis kecil. Aku pun mencoba untuk
melepaskan pelukannya, tetapi Nadin semakin mempererat pelukannya tersebut
sampai akhirnya tangisannya mulai mereda.
“Abang...bodoh...”
“Nadin, Nadin, maafin abang, apa abang
mengatakan sesuatu yang salah tadi? Maafin abang ya, maafin abang...”
“Hiks..Bodoh...aku... bodoh...”
“Aku...sebenarnya tidak pacaran...”
“Eh...”
“M..memang benar kalau kemaren teman sekelasku
menembakku, tapi...”
“Aku... menolaknya...”
“Eh... kamu menolaknya...”
“Karena... aku...Cuma cinta sama abang...”
“Aku... Cuma sayang sama abang...”
“Nadin...”
“Aku... hanya ingin tau.. bagaimana
perasaan abang...”
“Jadi saat abang bertanya pada ku... aku
bilang saja ke abang, kalau aku menerima nya...”
Nadin terus
menjelaskan tentang hal itu sambil memelukku, tanpa menatap ke arah wajahku
sedikit pun. Namun aku mengetahui bahwa saat ini dia terus mengeluarkan air
mata dan mencoba menutupi nya dengan terus menempelkan wajahnya pada tubuhku
dalam pelukannya. Aku pun terus mendengarkan apa yang dia katakan pada ku
sambil menatap ke arah wajahnya yang ia tutupi dari ku.
“Kemaren malam, aku terus merenungi tentang
hal ini, bahwa perasaan ini memang tidak seharusnya ada...”
“Perasaanku pada abang, adalah sesuatu yang
tidak akan di terima oleh orang orang....”
“Jadi wajar... kalau abang tidak memikirkan
perasaanku pada abang”
“Nadin...”
“Aku bukanlah orang yang normal!!!”
“NADIN!”
Aku pun membalas
pelukan Nadin, yang membuat Nadin terdiam.
“Sudah cukup,”
“He...”
“Mau bagaimana pun diri mu, apapun
perasaanmu pada abang...”
“Kamu tetaplah adik perempuan abang yang
abang sayangi...”
“Yang abang cintai...”
Nadin mendongak ke
wajahku dengan wajah penasaran. Dia menatap mata ku dengan mata nya yang
berbinar binar tersebut dengan seksama.
“Jadi abang juga mencintai ku?”
“Aaa..Tentu saja sebatas saudara...”
Aku memalingkan wajahku sebentar lalu menatap ke arah
wajahnya lagi. Terlihatlah yang Nadin menggembungkan pipi nya sambil mendongak
ke arah wajahku.
“Anoo... Dengar ya Nadin... apapun
perasaanmu, abang tetap menyayangi mu, lebih dari siapa pun di dunia ini... karena...”
“Kamu adalah priotas utama bagi abang...
apapun yang terjadi, jadi bagaimana pun perasaanmu pada abang, abang tidak akan
memperdulikan hal itu...”
Aku pun mengelus
kepala nya dengan lembut yang membuatnya terdiam sementara.
“Jahatnya, malah gak di peduliin, padahal
aku sudah memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku ke abang loh...”
“Mau gimana lagi kan, kita kan saudara
sedarah...”
“Pokok nya setinggi apapun sindrom BroCon
mu itu, abang tetap sangat menyayangi mu...”
“Abang...”
“Tapi tetap sebatas saudara loh ya!”
jelasku lagi.
“Cih...”
“Jangan gitu dong, dan juga... abang tetap
tidak mau kamu berpacaran dengan seseorang...” lanjutku pelan lalu berpaling.
Nadin mendongak ke
arah wajahku, lalu menempelkan wajahnya lagi ke tubuhku.
“Emm”
“Ngomong ngomong Nadin...”
“Iya bang?”
“Pelukannya bisa udahan dulu gak? Nanti
abang malah ketagihan...”
“Iiih abang! Bentar lagi ya... soalnya
jarang jarang bisa meluk abang kaya gini...”
“Ya
udah deh kalo gitu...”
Nadin masih tetap
memelukku, dan aku pasrah pasrah saja akan hal itu, karena benar juga yang di
katakan Nadin, jarang jarang juga kami bisa seperti ini.
*tap tap tap*
Terdengar suara
langkah kaki yang baru saja turun dari lantai dua, sontak aku dan Nadin pun
menoleh ke arah tangga, di mana suara langkah tersebut terdengar.
“Wah wah...Ku kira ada apa tadi, ternyata
dua orang kakak beradik yang saling menyatakan perasaannya masing masing ya...
hahaha...”
“Eh...”
“Om Fajar...”
-=Chapter 5 ‘Adikku dan aku’=-
Ditunggu chapter 6 nya gan.....
ReplyDeleteOkeee gan.
Delete