untuk daftar karakter, ada dibawah ini :
Sore itu aku dan Nadin telah berbaikan,
dengan memahami perasaan masing masing. Akhirnya aku dapat benar memahami apa
yang adikku rasakan selama ini, ya walau pun itu bukanlah sesuatu yang baik,
tapi entah mengapa aku merasa senang akan hal itu. Tapi masalah yang lainnya
telah datang.
“Wah wah...Ku kira ada apa tadi, ternyata
dua orang kakak beradik yang saling menyatakan perasaannya masing masing ya...
hahaha...”
“Eh...”
“Om Fajar...”
Aku lalu
melepaskan pelukanku dari Nadin, karena khawatir akan sesuatu, yap... benar
benar rasa khawatir.
“Hee... kenapa kamu melepaskan pelukanmu
Rei...”
“Karena aku tau kalau om bakal mikir yang
aneh aneh...”
“Emm... jangan berpikir kalau cinta ku sama
abang bukanlah cinta yang murni!”
Nadin mengangguk,
dan berbicara dengan semangatnya.
“Jangan memperburuk keadaan!”
“Jangan bicara seperti itu Rei!”
Paman berbicara
dengan nada dan wajah serius, tapi aku tau kalau dia akan membicarakan sesuatu
yang menjijikan.
“Om itu...om itu...”
“SUDAH MENUNGGU AKAN HAL INI!”
“tuh
kan... ku bilang juga apa.”
“Om sudah terlalu lama di luar kota, sampai
sampai om sudah banyak melewatkan adegan romantis terlarang di antara kalian!”
Paman begitu
bersemangat mengatakannya, walau pun itu bukanlah sesuatu yang pantas di
katakan oleh seorang paman kepada keponakannya.
“Kalian berdua, ayo berpelukan lagi!”
“Ayo bang!” kata Nadin dengan semangat.
“Kagak!!! Soalnya itu orang masih melihat
kita.”
“Jadi kalau om Fajar gak liat, abang mau
kan?”
“Akan abang pikirkan...”
Aku mengatakannya
sepelan mungkin agar hanya Nadin yang bisa mendengarnya. Paman lalu mengambil ponsel
di saku nya.
“Hee, ayolah kalian berdua, lakukanlah
lagi, dan kali ini aku akan memotretnya.”
“Kau sudah gila ya...”
“Kamu benar juga Rei...”
“He?”
“Seharusnya aku memotret kalian dengan
kamera SLR kan!”
“Wah mesti di bawa ke rumah sakit nie
orang,”
“Tunggu sebentar ya! Om akan mengambil
kamera di atas.”
Ia lalu berlari ke
lantai atas dengan semangatnya.
“Om Fajar benar benar bersemangat ya
bang...”
“Ya... benar juga...”
Itulah dia pamanku,
Ahmad fajar, dia adalah seorang desainer model dari perusaan game yang
berlokasi di Bandung. Dia adalah orang yang terkenal dikalangan perempuan,
karena ketampanannya, dan juga karena sampai sekarang dia belum juga menikah,
alias masih bujangan. Namun di balik itu semua dia adalah seorang otaku yang
sangat maniak terhadap sesuatu yang berbau Incest. Dan salah satu sasarannya
untuk menghibur diri adalah aku dan Nadin.
*note : Incest adalah hubungan cinta terlarang antara
saudara, biasa nya lebih mengarah ke saudara kandung, namun hubungan cinta
antar saudara tiri atau angkat pun masih termasuk kategori incest.
Dan keesokan hari nya...
“Ayo kita ke Bogam!”
Paman mengatakan
hal itu dengan semangatnya di tengah tengah sarapan yang awalnya hening.
“Hah... Bogam...” kata ku dan Nadin
bersamaan.
“Yap Bogam!”
Aku merasa mulai
curiga dengan ajakan paman yang tiba tiba ini, aku merasa kalau dia merencana
kan sesuatu.
“Kenapa ke Bogam?”
“Soalnya kalau ke pantai Kubu airnya keruh
kan...”
“Bukan bukan bukan... bukan itu yang ku
tanyakan...”
“Maksudku, apa alasan om mengajak kami ke
Bogam?”
“Eee... soal itu...”
Paman terlihat
sedikit panik dan memikirkan sesuatu saat aku menanyakan alasannya, sampai
akhirnya dia menepukan tangannya dan lalu tersenyum.
“Sudah pastikan... karna kita jarang jalan
jalan keluarga...”
“Jangan mengatakan hal yang baru terpikirkan di benakmu...”
“Gak papa kan bang, sekali kali...”
“Tapi kan...”
Aku lalu berniat
untuk membisikan sesuatu pada Nadin, namun tanpa sadar nafasku keluar lebih
dulu, sehingga membuat seolah olah kalau aku meniup telinganya.
“Aaa... ih abang genit...”
Nadin sedikit
mendesah dan lalu membuat raut wajah malu malu.
“A..a..abang gak bermaksud...”
*Cekrek*
Terdengar suara
kamera ponsel yang sedang memotret.
“Hmm, dapat gambar yang bagus.”
“Kenapa om memotretnya!!?”
“Cepat hapus foto itu!!!”
“Eh, buat kenang kenangan kan,”
“Pembohong!! Cepat hapus!”
“Nggak mau!”
Pada akhirnya kami
bertiga tetap pergi ke Bogam.
Kami pun berangkat menggunakan mobil yang
sangat jarang di pakai oleh paman. Sekitar kurang lebih dua jam kami di
perjalanan, akhirnya kami pun sampai di Bogam. Baru saja paman memarkirkan
mobil, Nadin langsung keluar dari mobil dengan semangatnya.
“Waah...”
Nadin berlarian
mendekati air di pesisir dengan penuh semangat.
“Hati hati, nanti jatuh loh!”
“Okeee”
“Abang ayo ke sini!”
“Bentar ya, abang bantu om negeluarin
bawaan dulu...”
Nadin melambaikan
tangannya dari kejauhan, yang membuatku tesenyum senang, karena bisa melihat
Nadin yang seperti biasa lagi. Mungkin inilah yang biasa di sebut dengan
sesuatu yang menyejukan hati, entah bagaimana dengan perasaanku ke Nadin, aku
masih belum mengerti dengan perasaanku sendiri. Namun yang pasti dia lah yang
bisa terus membuatku tersenyum.
“Bagaimana? Bagus juga kan jalan jalan
keluarga sekali sekali..”
“Aku tidak tau apa yang om rencanakan, tapi
kurasa jalan jalan kaya gini, gak buruk juga...”
“Om tidak merencanakan apa apa kok”
Paman memperlihat
wajah tersenyum yang benar benar mencurigakan sambil memegang sebuah kamera
digital yang terlihat mahal.
“Lalu untuk apa kamera itu?”
“Aaa... U..untuk....”
“Untuk foto kenang kenangan keluarga tentu
saja.’
“Aku tidak tau kenang kenangan apa yang om
maksud, tapi ku harap bukan untuk keperluan mesum...”
Dia lalu
memalingkan wajahnya sambil bersiul siul. Aku lalu menyusul Nadin ke pesisir.
Kami pun bermain bola pantai bersama, sampai beberapa saat kemudian aku
kehilangan keseimbangan dan nyaris membuatku terjatuh.
“Aaa...”
“Awas bang!”
Nadin dengan cepat
meraih tanganku, yang lalu membuat kami terjatuh bersama sama. Tepat di atasku
Nadin terjatuh, dan hal itu membuatku gugup dan khawatir.
“Na..na..nadin...”
“Tunggu...orang
tua itu jangan jangan...”
Aku lalu melihat
ke arah paman, dan tepat di arahku berpaling, paman sedang memotret kami dengan
penuh semangat.
“MANTAAAAP!!”
Paman berteriak
dari kejauhan sambil mengacungkan jempolnya pada kami dengan bangga nya.
“Mantap jidatmu!!!”
“Hahahahaa...”
Nadin tertawa
lepas.
“Nadin...? kenapa kamu tertawa?”
“Soalnya tadi abang bilang ‘hati hati,
nanti jatuh loh!’, tapi malah abang yang jatuh...hahaha”
“Tapi kamu juga jatuh kan...”
“Bener juga sih...”
“Hahahahaha...”
Kami berdua
tertawa lepas tanpa membangunkan diri masing masing. Saat itu aku berpikir,
mungkin inilah yang menjadi kebahagiaanku, adik perempuanku yang selalu ada di
sampingku. Aku jadi teringat perkataan Yuuki pada ku saat kami sedang di
Zypermart waktu itu,
“Hehe,
Senpai benar benar beruntung ya, punya adik seperti Nadin-chan.”
Saat itu aku
menjawab,
“Yaa,
kurasa juga begitu.”
Namun jika dia
menanyai ku sekarang, aku akan dengan bangga menjawab, Ya, Tentu saja. Nadin
lalu bangun dari tubuhku dan mengulurkan tangannya pada ku.
“Ayo bang, nanti baju abang makin basah...”
“Udah terlanjur basah kan...”
Aku tersenyum pada
Nadin, lalu meraih tangannya dan mencoba berdiri.
“Oy... yok kita makan dulu...”
Paman berteriak
dari sebuah pondok sambil terus memotret kami berdua.
“Iyaa, dan juga berhentilah memotret kami!”
Aku dan Nadin lalu
mendatangi Paman ke pondok.
“Heeh, Foto nya bagus bagus loh.”
“Nanti aku minta foto foto nya ya om...” kata Nadin dengan semangat.
“Owh, tentu saja!!”
“Akan ku pastikan foto foto itu ku hapus
sebelum kalian mengoleksi nya.”
“Heeeeh?!!” Keluh paman dan Nadin.
Kami pun makan bersama sama di pondok
tersebut. Saat pertengahan makan, Nadin mengarahkan sesendok nasi di sertai
tumis jagung ke dekat mulutku dengan wajah tersenyum.
“Ayo bang, Aaaaa”
“A..a.. tu..tunggu dulu...”
“Eh kenapa, ayo terima suapannya Rei!”
Paman menyiapkan
kamera nya dan bersiap siap memotret.
“Aku akan menerima suapan Nadin, kalau om
sudah menonaktifkan kamera nya.”
“Abang!”
Aku lalu menoleh
ke arah Nadin. Nadin lalu memperlihatkan wajah manis penuh harap pada ku sambil
terus memegang sesendok nasi yang tadi dia arahkan pada ku.
“Wah
manis banget nie anak...”
“Oke deh, Aaaaa”
“Aaam”
*Cekrek*
Dalam waktu yang
bersamaan suara kamera yang sedang memotret terdengar dari arah paman.
“Sip Rei..”
“Sip jidatmu!!”
Aku lalu menoleh
ke arah Nadin lagi, ku lihat Nadin sedang memperhatikan sendok yang tadi dia
pakai untuk menyuapi ku dengan seksama.
“Na..Nadin, kenapa memelototi sendok itu?”
“Kalau aku lanjut makan pake sendok ini...”
“Kenapa...”
“AKU BISA CIUMAN GAK LANGSUNG SAMA
ABANG!!!”
Nadin dengan
semangat melanjutkan makannya menggunakan sendok yang tadi dia pakai untuk
menyuapi ku.
“Wah pikirannnya sampe ke situ...”
“Aku main lagi ya bang!”
“Habiskan dulu makana...”
Omonganku terhenti
begitu melihat piring Nadin yang sudah bersih tanpa sebutir Nasi pun, padahal
beberapa saat sebelumnya masih lumayan banyak.
“Gile...
piringnya udah bersih...”
“Aku duluan ya bang.”
Nadin kembali
bermain ke pesisir sambil berlarian. Beberapa saat kemudian aku dan paman baru
menghabiskan makanan kami. Paman lalu mengajakku untuk menyusul Nadin ke dekat
pesisir.
“Ayo kita duduk di sana...”
Paman menunjuk
sebuah batang pohon kelapa yang terlentang tak jauh dari tempat Nadin bermain.
“Aa, baiklah”
Kami segera
menyusul Nadin di dekat pesisir. Aku dan paman lalu duduk di batang pohon
kelapa tersebut sambil mengawasi Nadin yang sedang asik bermain.
“Rei, om ingin menyampaikan sesuatu pada
mu,”
“Ya?”
“Om ingin kamu terus menjaga Nadin saat om
sedang bekerja...”
“Hah.. tentu saja kan, dia kan adikku,
tanpa om suruh, aku juga akan melakukannya.”
“Haha... benar juga ya...”
Paman memerhatikan
Nadin yang sedang bermain di dekat air.
“Sejak... kejadian itu... aku mendapatkan
hak asuh untuk kalian,”
“Dan... aku jadi bisa merasakan menjadi sosok
ayah bagi nya...”
Paman mengatakan
hal itu sambil terus memperhatikan Nadin.
“Hm, jadi om tidak menganggapku sebagai
anak ya...”
“Haha, tentu saja aku juga wali mu kan...”
“Maksudku, ternyata menjadi sosok orang tua
tidak buruk juga ya.”
“Kau tau Rei saat om mendapat hak asuh
kalian, om tidak tau, mesti bagaimana...”
“Belum lagi saat itu, om sedang di landa
kesedihan karena kepergian Ibu mu... saudara om satu satu nya...”
“Namun... setelah beberapa minggu merawat
kalian, kesedihan itu mulai memudar... om merasa mulai bahagia karna bisa
menjadi wali kalian,”
“Karena kalian berdua adalah... pengisi
dari kekosongan di dalam hati om...”
Saat itu aku
sangat terkagum oleh perkataan paman, sosok lain dari paman yang sangat jarang
ku lihat, benar benar berbeda dari yang biasa nya...
“Om Fajar...”
“Jadi berciumanlah dengan Nadin, agar aku
bisa mendapatkan foto yang benar benar bagus hari ini!”
Paman tiba tiba
mengatakan sesuatu hal yang benar benar menjengkelkan sambil memegang kamera di
tangannya, dan itu membuatku menyesal karena aku sempat kagum pada nya tadi.
“Haaah...
ternyata memang begini lah jadi nya...”
“Ayo Rei... LAKUKAN!!”
“Ogaah...”
“Abaang... om Fajar...”
Nadin tiba tiba
memanggil kami sambil melambaikan tangannya.
“Iya Nadin...”
“Aku nemu bintang laut nih...”
“Benarkah, mana mana?”
Aku dan paman
berdiri lalu menghampiri Nadin.
“Om juga lihat dong...”
“Gak boleh!”
“Heee....”
Begitulah jalan
jalan keluarga yang kami lakukan, walaupun bersama dengan seorang paman yang
menjengkelkan, namun yang nama nya keluarga tetap saja keluarga, dan berkumpul
bersama sama keluarga seperti ini cukup menyenangkan juga.
-=Chapter 6 ‘Paman yang menyebalkan’=-
Gan,entah knp ane suka sama ceritanya
ReplyDeleteAne mau nanya nih,ane juga suka nulis novel kayak gini,boleh gk ane masukin tulisan ane,biar makin rame :D
boleh gan, ane juga lagi nyari teman buat up novel di sini
DeleteKlo boleh tau,ada persyaratan nya gk?
DeleteGak ada, klau critanya ketik di word dulu, kasih nama penulis (asli/penname), hbis tu kirim ke fb ane
Delete